Photo by Mika Baumeister / Unsplash

Negara Ini Tak Takut Perusuh, Tapi Takut yang Berpikir

Feri Harjulianto
“Negara ini tak takut perusuh, tapi takut yang berpikir. Yang tak diam, yang tak tunduk, yang tak pura-pura tidur.”

Kalimat ini lahir bukan dari ruang kosong. Ia tumbuh dari observasi panjang tentang bagaimana kekuasaan di negeri ini merespons keberanian rakyat. Bukan keberanian dalam bentuk fisik, bukan lemparan batu, bukan bentrokan jalanan, tapi keberanian berpikir. Berani bertanya. Berani mengingat. Dan yang paling menakutkan adalah berani menghubungkan titik-titik kenyataan.

Kerusuhan bisa dihentikan. Dibubarkan. Diredam dengan gas air mata dan pentungan. Tapi pemikiran? Tak bisa dibubarkan. Ia tak butuh pengeras suara, tak butuh panggung, bahkan tak butuh izin keramaian. Ia menyebar lewat obrolan, unggahan, dan tanya sederhana: "Kenapa bisa begini?"

Dan justru karena itu, ia dianggap ancaman.

Yang ditakuti bukan orator yang berteriak, tapi ibu rumah tangga yang tahu anggaran tidak masuk akal. Bukan tukang ojek yang demo, tapi mahasiswa yang hafal pasal dan berani bicara. Bukan buruh yang mogok, tapi petani yang mulai mencatat jejak-jejak ketimpangan.

Mereka tidak takut suara, mereka takut logika.

Kita tumbuh dengan nasihat: "Jangan ikut campur."
Tapi ikut campur adalah tanda peduli.
Dan di negeri ini, peduli bisa berujung pasal karet.

Yang tidak tidur, akan dibangunkan dengan intimidasi.
Yang bangun, akan diawasi.
Dan yang tak mau tunduk... akan disingkirkan pelan-pelan.

Hari ini, berpikir kritis dianggap ancaman.
Paramedis ditangkap, jurnalis ditahan, mahasiswa dilabeli “anarko” hanya karena hadir.
Tak ada senjata, tak ada kekerasan. Hanya niat dan nalar.

Mereka tidak dibungkam karena melakukan kekacauan.
Mereka dibungkam karena bisa membongkar.

Kenapa Mereka Takut?

Karena kesadaran itu menular.
Satu orang sadar → dua orang mulai curiga → sepuluh orang bertanya → seratus orang menolak.
Dan saat rakyat sadar, tipu muslihat tak lagi laku.

Tak ada yang lebih menakutkan dari rakyat yang tidak bisa dibodohi.
Karena rakyat seperti itu tidak bisa disuap dengan bansos atau dibungkam dengan janji.
Mereka tak lapar popularitas, tapi haus keadilan.

Negara ini tak perlu dibenci.
Tapi perlu diingatkan.
Dan mengingatkan butuh nalar. Bukan sekadar marah.

Kita tak perlu semua orang turun ke jalan.
Cukup banyak orang yang sadar ada yang salah.
Dan sadar bahwa diam bukan lagi pilihan.

Berpikirlah.
Karena itu hal paling revolusioner yang bisa kamu lakukan hari ini.

Tak perlu bakar ban, cukup nyalakan akal. Karena negara ini lebih takut cahaya pikiran, daripada suara kerusuhan.
Opini