
Blog Pribadi vs. Media Sosial: Tempat Mana yang Lebih Jujur?
Pernah gak kamu nulis status, lalu hapus lagi sebelum di-post?
Bukan karena salah ketik—tapi karena ragu:
“Apa ini terlalu jujur untuk dilihat orang lain?”
Aku sering.
Kadang aku pengen cerita soal hari yang melelahkan, tentang cemas yang datang tiba-tiba, atau tentang kebanggaan kecil yang gak ada hubungannya sama kerjaan.
Tapi begitu tangan bergerak ke tombol post, kepalaku mulai penuh suara-suara yang tak terlihat:
- “Jangan terlalu curhat, nanti dikira lebay.”
- “Kalau terlalu senang, nanti dikira sombong.”
- “Kalau terlalu tenang, nanti gak ada yang peduli.”
Dan akhirnya aku tutup aplikasinya. Diam. Tapi bukan karena gak punya cerita—aku cuma gak nemu ruang yang terasa cukup aman.
Media Sosial: Serba Cepat
Media sosial seperti kota besar yang tak pernah tidur. Penuh lampu. Penuh suara. Semua orang kelihatan sedang terburu-buru ke tempat lain. Kita jalan sambil tengok kanan kiri:
“Postingan ini cukup menarik gak?”
“Story-ku dilihat berapa orang ya?”
“Kenapa yang itu viral, padahal biasa aja?”
Kita jadi penampil di panggung yang tak pernah padam, kadang lupa bahwa yang dilihat hanya potongan—bukan keseluruhan.
Di sana, kejujuran sering harus dikompres.
Diedit. Difilter. Dikasih emoji biar gak terlalu serius.
Blog Pribadi: Sunyi yang Tidak Menghakimi
Lain cerita saat aku buka halaman blog ini. Aku duduk di depan layar, sendiri.
Tanpa notifikasi. Tanpa scroll. Hanya ada kursor yang berkedip—seperti bilang,
“Aku siap dengar, kapan pun kamu siap bercerita.”
Blog itu bukan panggung.
Dia lebih mirip ruang kerja kecil yang kamu tata sendiri. Ada cangkir kopi di sisi kanan, lampu meja menyala redup, dan pikiranmu bertebaran seperti kertas yang belum dibereskan.
Dan di ruang itu… aku gak perlu terburu-buru. Gak ada likes, gak ada “engagement rate.” Hanya ada aku dan pikiranku, yang perlahan-lahan mulai berbentuk kalimat.
Mana yang Lebih Jujur?
Bukan soal mana yang lebih baik.
Karena media sosial pun banyak jasanya—mempertemukan, menyambungkan, menguatkan.
Tapi kalau ditanya soal kejujuran… Kejujuran butuh waktu. Butuh ruang. Butuh keberanian untuk gak selalu dimengerti. Dan blog—dengan kesepiannya yang hangat—masih jadi tempat paling masuk akal untuk menaruh hal-hal yang sulit dijelaskan dalam satu kalimat.
Penutup
Kita semua butuh tempat untuk didengar. Tapi kadang… kita juga butuh tempat untuk mendengar diri sendiri.
Di media sosial, kamu mungkin viral. Tapi di blog, kamu bisa tenang.
Dan dari ketenangan itulah, cerita bisa tumbuh—bukan hanya untuk dibaca,
tapi juga untuk dipulangkan.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir.
Kalau kamu sedang mencari ruang menulis yang jujur, blog mungkin bukan hanya tempat… tapi juga teman.
– Feri Harjulianto